Rabu, 15 Juni 2016

Psikoterapi



Terapi Humanistik

A.    Definisi dan Sejarah Terapi Humanistik
Psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh  psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan atau teori eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, sentral memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia – kesadaran diri dan kebebasan yang konsisten.
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.

B.     Konsep Utama Terapi Humanistik-Eksistensial
1.      Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
2.      Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
3.      Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.

C.    Tujuan-tujuan Terapeutik
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak atas kemampuannya.

D.    Fungsi dan Peran Terapis dalam Terapi Humanistik-Eksistensial
Terapis dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana tekhnik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.

E.     Prosedur dan Teknik Terapi
Menurut Baldwin (1987), inti dari terapi ini adalah penggunaan pribadi terapi
1.      Kapasitas Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling.
Meningkatkan kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran memerlukan imbalan.

2.      Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling.
Terapis eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980).
Terapis membantu klien dalam menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik menjadi tergantung pada terapis.
Terapis perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
3.      Usaha Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi Konseling.
Bagian dari langkah terapeutik terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan jawaban mereka sendiri.
4.      Pencarian Makna : Implikasi Konseling.
Berhubungan dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa dipelajari klie tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
5.      Kecemasan Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling.
Kecemasan merupakan materi dalam sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom. Terapis dan klien dapat menggali kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana akan menjadi berkurang.
6.      Kesadaran Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling.
Latihan dapat memobilisasikan klien untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang lebih bermakna.

F.     Tahap-tahap Pelaksanaan Terapi Humanistik Eksistensial
Pendekatan ini bisa menggunakan beberapa teknik dan konsep psikoanalitik dan juga bisa menggunakan teknik kognitif-behavioral. Metode ini berasal dari Gestalt dan analisis transaksional. Terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan oleh terapis dalam terapi humaniatik eksistesial, antara lain :
Ø  Tahap pendahuluan
Ø  Konselor mambantu klien dalam mengidentifikasi dan mnegklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercemin pada eksistensial mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
Ø  Tahap pertengahan
Ø  Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dan sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
Ø  Tahap akhir
Ø  Berfokus untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaan kebebasan pribadinya.

G.    Kekurangan dan Kelebihan Terapi Humanistik-Ekstensial
  1. Kelebihan
Ø  Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
Ø  Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
Ø  Memanusiakan manusia
Ø  Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
Ø  Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa
  1. Kelemahan
Ø  Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
Ø  Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
Ø  Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
Ø  Memakan waktu lama.

H.    Contoh Kasus
 1.       Kasus Pertama:
Salah seorang artis berinisial “A” selalu men-share apa yang sedang dia lakukan dan peristiwa apa yang sedang terjadi dimana ia berada di akun media sosial miliknya. Gaya hidupnya yang mewah dan berlebihan membuat dirinya memiliki banyak haters yang menghujat dirinya, tetatpi dia merasa banyak orang iri terhadap dirinya sehingga ia memiliki banyak haters. Namun tidak lama artis berinisial “A” ini semakin mendapatkan banyak hujatan dan artis ini mengalami stress berat.
Introspeksi adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.

Menggunakan teknik Logo Therapy menolong diri sendiri serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri. Dalam melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik (sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat pada dirinya). 
Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi dengan kebermaknaan hidup, untuk memperbaiki kondisi diri untuk mencapai tujuan pemenuhan peran.



2.      Kasus Kedua   :
Sungguh mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4 orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih anak-anaknya.
Ibu Mercy adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga, ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan suara, ia bunuh diri.
Pada saat seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung beban hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis Eksistensial mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti klien merasa mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi manusiawinya, apakah klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan. Terapis Eksistensial akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud dalam hidupnya. Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup & melakukan sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya merasa lebih berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak klien memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan selalu dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu eksis dalam kehidupannya.
Perasaan bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan dari terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah kehidupannya sendiri.

Minggu, 27 Maret 2016

TUGAS RANCANGAN PENELITIAN EKSPERIMEN



Topik               : Suhu tinggi
Masalah          : Apakah suhu tinggi dapat menyebabkan perilaku agresif pada suporter yang                   menonton pertandingan sepakbola?

Hipotesis
·         Hipotesis Ilmiah

Hipotesis Umum : Suhu tinggi menyebabkan perilaku agresif pada suporter yang menonton pertandingan sepakbola.
Hipotesis Eksplisit : Subjek yang ditempatkan di ruangan yang memiliki suhu tinggi akan menyebabkan perilaku agresif pada saat menonton pertandingan sepakbola yang lebih tinggi dari pada subjek yang tidak diberikan suhu tinggi.

·         Hipotesis Statistik
Ha :  Subjek yang ditempatkan di ruangan yang memiliki suhu tinggi akan menyebabkan perilaku agresif pada saat menonton pertandingan sepakbola yang lebih tinggi dari pada subjek yang tidak di tempatkan di ruangan yang memiliki  suhu tinggi.
Ho : Subjek yang ditempatkan di ruangan yang memiliki suhu tinggi tidak menyebabkan perilaku agresif pada saat menonton pertandingan sepakbola dan tidak berbeda secara signifikan dengan subjek yang tidak ditempatkan di ruangan yang memiliki suhu tinggi.

Variabel
·         Variabel Bebas : Suhu tinggi
Ø  Variasi : Ada-Tidak ada, yaitu subjek ditempatkan di ruangan yang memiliki suhu tinggi dan tidak ditempatkan diruangan yang memiliki suhu tinggi.
Ø  Manipulasi : Manipulasi kejadian, dengan cara memberikan suhu tinggi pada suatu kelompok subjek, dan tidak memberikan suhu tinggi pada kelompok yang lain.

·         Variabel Terikat : Perilaku Agresif.
Ø  Jenis Pengukuran : Perilaku yang tampak.
Ø  Cara Pengukuran : Frekuensi, yaitu skor yang diperoleh dari pengisian kuesioner untuk mengukur perilaku agresivitas karya Buzz & Perry yang memiliki rentang skor 0,72 sampai 0,80.

·         Variabel Sekunder :
Ø  Jenis kelamin (dikontrol dengan teknik blocking, yaitu jumlah laki-laki dan perempuan sama pada setiap kelompok).
Ø  Tingkat umur (dikontrol dengan teknik konstansi, yaitu memilih subjek dengan tingkat umur yang sama).
Ø  Status sosial ekonomi (dikontrol dengan teknik randomisasi, yaitu secara acak memasukkan subjek ke dalam KE dan KK).
Ø  Jenis pertandingan (dikontrol dengan teknik konstansi, yaitu menonton pertandingan yang akan diikuti oleh seluruh subjek sama jenisnya).
Ø  Peralatan suhu tinggi  (dikontrol dengan teknik konstansi, yaitu menggunakan pemanas ruangan dengan suhu tertentu serta jumlah peralatan lainnya proyektor, video player,  air mineral, snack  yang sama).
Ø  Waktu menonton pertandingan (dikontrol dengan teknik konstansi, yaitu lamanya waktu menonton pertandingan sepakbola sama bagi semua subjek).
Ø  Kegiatan relaksasi lain (dikontrol dengan teknik konstansi, yaitu semua subjek tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan relaksasi lain selama penelitian).

Tipe dan Desain Penelitian
Ø  Tipe Penelitian : Controlled Laboratory Experiment.
Ø  Desain Penelitian : Desain 2 kelompok (desain antar-kelompok)       randomized blocked two-group design, posttest only.

Perencanaan Penelitian :
Ø  Subjek : Suporter tim sepak bola  yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan kisaran umur 18-19 tahun. Jumlah subjek yang dibutuhkan adalah 40 orang dengan jumlah tim A dan tim B masing-masing 20 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan setiap kelompoknya.
Ø  Peralatan : Skala Aggression Questionaire, pemanas udara, proyektor, video player,  air mineral, snack.
 Prosedur :
Ø  40 suporter diperoleh dari hasil setiap chapter regional tim A dan tim dengan jumlah masing-masing subjek tim A dan tim B berjumlah genap.
Ø  Kemudian dilakukan pengundian untuk memasukkan subjek tim A dan tim B ke dalam 2 kelompok (Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol), sehingga kedua kelompok terdiri dari tim A dan tim B dengan jumlah yang sama.
Ø  Subjek pada kelompok Kelompok Eksperimen ditempatkan diruangan lab yang telah diberikan pemanas udara dengan suhu udara C. Hal tersebut berlangsung selama satu kali pertandingan.
Ø  Pada kelompok Kontrol tidak diberikan pemanas udara.
Ø  Pada hari terakhir sebelum ujian, subjek pada kedua kelompok diminta untuk mengisi kuesioner skala Aggression Questionaire.
Ø  Skor dari setiap subjek diperbandingkan dengan analisis statistik.